2/03/2009

manusia paling bodoh

1994 adalah tahun dimana aku memulai petualganku di dunia pendidikan. Aku masuk SD Negeri Jatibening Indah II Bekasi. Salah satu sekolah dilingkungan komplek TNI Agkatan Laut, atau sering disebut komplek AL. Sekolah ku terletak berdampingan dengan SDN Jatibening indah I. Berbeda dengan SD Jatibening Indah I yng memiliki 4 kelas, Sekolah ku memiliki 2 ruang kelas yang di pakai bergantian oleh kelas 1-6, dan dilengkapi dengan 1 buah WC. Aku masuk kelas 1C yang terdiri dari 27 siswa.

Falti kecil yang menghabiskan masa kanak-kanak secara berpindah-pindah dari satu kota ke kota lainnya memiliki tingkat intelegensi yang sangat rendah alias di bawah rata-rata. Waktu masuk sekolah, aku sama sekali belum bisa menulis, membaca, bahkan menghitung. Aku memang terlahir sangat bandel alias hyperaktif, berbagai macam kenakalan aku lakukan semasa SD, mulai dari menjahili teman, mencontek, main gak karuan, dan gak jarang aku sering kena hukuman baik dari guru maupun keluargaku dirimah, disamping itu aku dikaruniakan oleh Tuhan sifat ceroboh bahkan sampai sekarang ini.

Pokoknya masa kecilku kulalui dengan sangat kacau, semakin aku dilarang justru semakin aku menjadi-jadi, tak jarang terdengar keributan di rumah kami yang di akibatkan bapakku marah-marah akibat ulahku yang sangat tidak bisa diterima oleh akal sehat. Salah satu tindakan yang pernah kulakukan adalah aku mencoret-coret dengan goresan-goresan benda tajam mobil pribadi orang lain dengan nama teman-teman sepermainanku, lalu menggembosi ban nya. Sudah bisa di tebak, akhirnya aku kena hajar habis-habisan oleh bapakku.

Mulai dari kecil aku dididik sangat keras oleh kedua orang tuaku, teramat sangat keras bahkan sampai aku pernah merasa kalo mereka bukanlah orangtua asliku. Tak jarang aku memperoleh pukulan bahkan hukuman-hukuman yang sangat mengerikan oleh kedua orang tuaku. Namun entah mengapa, keras nya didikan mereka tidak sama sekali merubah tabiat atau sikapku terutama dalam hal pendidikan, bukan semakin baik malah aku semakin menjadi-jadi dan tidak terkontrol.

Puncaknya pada saat kelas 3SD aku belum bisa membaca dengan benar, dan pada kelas 4SD aku terancam tidak naik kelas karena saat ulangan IPA aku dapet nilai 2. Waktu itu aku lulus akibat dari pertolongan guruku yang terpaksa menaikkan aku ke jenjang selanjutnya. Ada satu soal waktu kelas 4 yang masih teringat sampai saat ini, mungkin karena konyol nya. "Jalan Tol di indonesia di bangun menyerupai ceker?"
a. sapi
b. ayam
c. kerbau
Dan aku menjawab A, ceker sapi. Bisa di bayangkan? secara logika saja, mana ada sapi punya ceker? ^_^

Kebodohan ini berlanjut sampai aku menginjak kelas 5SD, di awal tahun ajaran aku mendapat makian dari guruku yang dimana aku sangat tersinggung akan kata-katanya yang mempersoalkan betapa bodoh nya aku. Sepulang sekolah aku terus berfikir mengapa aku terlahir sebodoh ini? apa yang salah denganku? apa memang aku gak akan mampu?
Apalagi kelas aku sadar klo sebentar lagi aku akan menghadapi EBTANAS di akhir kelas 6, dan orang tuaku sudah wanti-wanti dari awal klo aku gak dapet SMP Negeri, aku tidak akan pernah di sekolahkan lagi. Susah bagiku untuk menggambarkan pergejolakkan dalam hatiku saat itu.

Susah bagiku untuk menggambarkan pergejolakkan dalam hatiku saat itu. Tapi yang pasti, mulai saat itu aku berjanji pada diriku sendiri untuk membuktikan kepada dunia bahwa aku bisa dan mampu untuk menjadi yang terbaik. Aku akan melampiaskan dendamku kepada guru ku itu dan buat dia kagum akan apa yang nanti ku peroleh.

Memasukki kelas 6 dengan optimisme baru ditambah wali kelasku sekrang ganti, buka bu martinem yang sudah jadi walikela ku selama 5 tahun berturut-turut, tapi pak pandi supandi. Di awal tahun aku memulai gebrakkan-gebrakkan baru, aku mengamati orang-orang yang memperoleh rangking sebelum-sebelumnya dan meniru gaya belajar mereka terutama di kelas. Aku terus berupaya unggul di setiap sesi pelajaran, dan berusaha menyimak setiap penjelasan guru di kelas. Belajar pun sekarang bukan karena terpaksa melainkan dengan sendirinya.

Kerja kerasku pun menuai hasil. Di semester 1, aku memperoleh rangking 3 waktu pembagian raport, dan muncul sebagai new falti yang mesti di perhitungkan oleh teman-teman sekelas ku. Optimesme pun merebak dalam hatiku, aku percaya kalo aku dapat memperoleh minimal NEM Standar masuk ke SMP Negeri pada saat Ebtanas nanti.

Sebelum memasukki EBTANAS, kami dihadapkan dengan PRAEBTANAS. Ujian kali ini merupakan bayangan dari EBTANAS. Baik aturan maupun bobot soal dipastikan sama dengan EBTANAS, namun EBTANAS memiliki bobot soal yang sidikit lebih besar.

Pengumuman PraEbtanas pun di umumkan. Sangat mengerikan, aku memperoleh nem 32.90. Nilai tersebut di bawah standar SMP Negeri yakni 36.00. Menerima nilai itu aku langsung syok berat optimisme itu berubah, apalagi sainganku memperoleh nem 43. Aku sangat terpukul dan seolah-olah tersadarkan bahwa perbedaan intelegensi diantara kami berdua sangat berbeda jauh. Aku mulai tidak yakin dengan diriku sendiri, aku mulai membayankan akan sebuah kegagalan.

Aku pun menghabiskan seminggu hari-hariku merenung dan berusaha mengumpulkan keping-keping optimisme dan harapan yang sudah sirna. Akhirnya aku pun memutuskan untuk berusaha yang terbaik yang aku bisa, sambil memasrahkan hasil akhirnya ke Tuhan. Aku pun mulai sedikit optimis dan mulai menambah intensitas belajarku. Mungkin bukan intensitas melainkan efektifitas belajar, karena waktu belajar ku tidak banyak tapi efektif dalam setiap belajarnya.

Saat yang ditunggu-tunggu pun tiba, aku melawati EBTANAS dengan hati yang berdebar-debar, sambil gemetaran aku berusaha mengerjakan soal-soal. Aku terus membayangkan klo ini adalah terakhir kalinya aku duduk di bangku sekolahan, itu karena aku tidak yakin dengan hasilnya kelak.

Beberapa hari setelah EBTANAS, waktu pengumumanpun tiba. Aku terlebih dahulu pergi kerumah temen sekelasku yang berada tidak jauh dari sekolah. Aku bertanya apakah dia sudah melihat pengumuman atau belum, dan dia bilang klo dia sudah melihantnya. Dia bilang kalo aku dapet NEM 33.25. Mendengar angka itu aku sangat kaget, kaget namun pasrah akan nasibku, aku sudah berusaha semaksimalku dan mungkin klo ungkapan manusia paling bodoh yang ku dengar dari guru SD ku itu memang terbukti benar. Aku berpaling dari rumah temanku itu, dengan langkah berat aku bergegas pulang kerumah dan bersiap-siap menerima amukan gaya penjahat perang dari kedua orang tuaku. Aku sudah pasrah akan sirnanya masa depanku maupun harapanku untuk bersekolah lagi, belum lagi hadia sepeda yang ku idam-idamkan pun ikut sirna.

Dengan lesu aku melangkahkan kaki ku menuju kerumah, tapi belum seberapa jauh kaki ini melangkah, aku bertemu dengan teman sekelasku yang lainnya. Aku dipaksa untuk menemaninya ke sekolah untuk melihat nilai ku. Akhirnya dengan terpaksa aku menyetujui ajakannya, lumayan untuk menunda saat-saat menghadapai medan perang di rumah nanti.

Kami pun memasukki ruang kepala sekolah, banyak temen sekelasku yang tersenyum mengetahui nilai mereka. Ada yang tersenyum karena nilai bagus, dan ada yang terseynyum karena udah bisa menebak klo nilainya bakalan jelek. Sementara diriku terus tertunduk lesu layaknya tawanan perang yang sudah mengetahui tanggal dia akan di eksekusi.

Disaat aku menundukkan kepala sambil menunggu antrian, ada suara yang menyeruak dari depan memanggil namaku, suara yang aku yakin klo itu bukanlah anak kecil melainkan orang dewasa. Akhirnya aku menoleh ke atas dan melihat yang memanggilku adalah kepala sekolah. Aku kaget bukan main, ada apa gerangan beliau memanggilku? karena perasaan uang SPP ku sudah kulunasi jauh-jauh hari, atau mungkin dia iba akan kondisiku yang layaknya korban perang?

Dengan lesu aku menerobos kerumunan dan masuk keruang kepala sekolah, mendahului teman-teman yang merasa jengkel namun tidak bisa berbuat apa-apa karena antrian dari pagi mereka aku rusak dengan seketika tanpa mampu mereka cegah soalnya aku dipanggil langsung oleh kepala sekolah.

Kepala sekolah pun membuka pembicaraan.

Kepala sekolah : "Selamat siang falti!"
aku: "Selamat siang bu!"
Kepala Sekolah: "Gmna? Udah tahu nilai kamu belum?"
aku: "Belum bu!" menjawab berpura-pura
Kepala Sekolah: "Mau tau nilainya?"
aku: "Mau bu" sambil berusaha tersenyum
Kepala Sekolah: "Memang kmu mau nilai berapa?"
aku: "Yang penting bisa dapet negeri aja deh bu, 36 aja cukup" Sambil berharap kalo aku bisa menawar nilaiku supaya bisa ditambahkan
Kepala Sekolah: "Segitu doang?"
aku: "iya bu, segtu aja, saya sudah bersyukur"
Kepala Sekolah: "ow, Selamat ya!!"
aku: "Selamat untuk apa bu?" sambil tersenyum Berfikiran klo kepala sekolah ini udah mengabulkan permohonanku dan merubah nilaiku sesuai dengan yang aku inginkan
Kepala Sekolah: "Selamat.. Kamu memperoleh nilai tertinggi di sekolah kita, NEM kamu 43.55 "
aku: "Masa sih? Makasih bu!" aku terpana, tanpa ekspresi karena gak percaya.
Kepala Sekoah: "Ini detail nilai kmu!" sambil menunjukkan rekapitulisasi nilai keselurahan siswa

Melihat nilai ini pun aku langsung senang bukan kepalang, dan sontak aku berteriak kegirangan, aku langsung lari keliling lapangan dan langsung lari bergegas ke rumah mau pamer ke orang tuaku. Sampai dirumah aku ketemu dengan mama ku dan pamer klo aku dapet NEM 43.55, namun dengan enteng beliau menjawab "Heeeh, cuman sgtu doang?" ha2x. jawaban itu muncul karena sebelumnya mamaku gak tau klo itu adalah jumlah dari 5 mata pelajaran, bukan 12. ha2